Sampurasun
Dampak suatu kemajuan mau tidak mau akan berdampak kepada kita, baik itu secara perorangan maupun kelompok. Jika kita berpergian dan handphone tertinggal di rumah, kita akan dibuat repot bukan kepalang. Padahal dulu saat handphone belum ada, kita bisa berpergian dengan leluasa tanpa tergantung terhadap benda yang disebut handphone. Begitupun terhadap lingkungan, kota besar seperti Bandung sudah pasti terkena imbasnya. Rencana pembangunan monorel, kereta gantung, walaupun masih rencana, merupakan dampak dari suatu kemajuan.
Dampak suatu kemajuan mau tidak mau akan berdampak kepada kita, baik itu secara perorangan maupun kelompok. Jika kita berpergian dan handphone tertinggal di rumah, kita akan dibuat repot bukan kepalang. Padahal dulu saat handphone belum ada, kita bisa berpergian dengan leluasa tanpa tergantung terhadap benda yang disebut handphone. Begitupun terhadap lingkungan, kota besar seperti Bandung sudah pasti terkena imbasnya. Rencana pembangunan monorel, kereta gantung, walaupun masih rencana, merupakan dampak dari suatu kemajuan.
Meskipun hidup harus melihat ke depan,
tapi tidak ada salahnya jika kita melihat ke belakang, apalagi jika itu untuk
suatu pembelajaran ataupun sekedar untuk bernostalgia. Mungkin masih terbayang
di ingatan kita indahnya kota Bandung jaman baheula. Yang saya ingat sekitar tahun
70an s/d 90an cuaca kota Bandung masih sangat sejuk, berkisar antara 18 sampai
22 derajat celcius, tidak perlu AC jika kita memakai mobil. Jalanan masih
sangat lengang jauh dari kata macet.
Kebetulan saya dibesarkan
dikawasan Kiaracondong, dulu jika di ajak orang tua jalan-jalan ke Alun-alun, sudah pasti harus melewati perempatan
Binong. Yang klasik adalah pada saat itu lampu trafic light tergantung tepat di
tengah-tengah perempatan, di tengah perempatan ada tugu, entah sudah kewajiban
atau tidak pada saat itu, yang pasti ada beberapa perempatan yang saya ingat
memiliki tugu. Dari Binong lurus menyusuri jalan Gatot Subroto yang lengang
dengan rumah-rumah klasik khas bangunan Belanda di sisi kiri kanan jalan.
Seingat saya pada waktu itu di jalan Gartot Subroto hanya ada dua buah toko,
satu di pertigaan jalan Salak yaitu toko Surya Tjong, dan satu lagi toko Men di
dekat pertigaan jalan Burangrang.
Di alun-alun depan mesjid Agung
terdapat air mancur dengan kolam berbentuk bulat, orang yang datang ke
alun-alun tidak afdol jika tidak berfoto di kolam air mancur ini. Di alun-alun juga
terdapat beberapa gedung bioskop, seperti Nusantara, Dian, Dalas dan ada juga
bioskop Majestic jika anda berjalan sedikit ke arah jalan Braga. Di sebelah
kanan bioskop Nusantara (sekarang bekas gedung Palaguna) terdapat bioskop yang
lebih kecil yaitu bioskop Pop, dan kalau tidak salah di sebelah kirinya juga
ada bioskop, tapi saya lupa lagi namanya. Di daerah jalan Wastukancana terdapat
bioskop President (tepat di depan gedung Landmark sekarang), begitu juga dengan
gedung Landmark, dahulu adalah bekas bioskop yang saya juga lupa namanya.
Bioskop-bioskop lain yang ada di kota Bandung pada saat itu adalah bioskop
Vanda di jalan Merdeka (sekarang gedung BI), bioskop Panti Karya (depan gedung
BIP sekarang) dengan ciri khas patung Jendral Ahmad Yani-nya, Bandung Theatre
di Kosambi (sekarang pasar Kosambi) dan jika ingin yang lebih berkelas adalah
bioskop Paramount di jalan Jendral Sudirman. Kesemua gedung bioskop ini
berasitektur Art Deco (kecuali bioskop Paramount) seperti halnya bangunan atau
rumah-rumah lain di kota Bandung pada saat itu. Ada beberapa gedung bioskop
yang mempunyai balkon, di antaranya Bandung Theatre, Dian dan President. Dari
kesemua bioskop-bioskop di atas yang paling saya ingat adalah tempat penjualan
tiketnya (loket tiket) yang sangat klasik.
Jika ingin menonton film yang
murah meriah, ada juga bioskop misbar (gerimis bubar) di kawasan Cicadas yaitu
bioskop Cahaya. Pada saat itu di semua gedung bioskop, merokok didalam gedung
bioskop masih di perbolehkan, bahkan penjual asonganpun hilir mudik di dalam
gedung bioskop. Satu yang tidak akan saya lupakan adalah teriakan penjual asongan
saat menawarkan dagangan, “Ciklet, Cocorico, Colonyet...”.
Pertokoan terpusat di satu
tempat, seperti di daerah alun-alun, Kosambi, Cicadas dan lain-lain. Semua
masih tertata rapi dan bersih, tidak ada PKL, tidak ada sampah yang menumpuk di
jalanan, sungai belum tercemar, tidak ada kemacetan. Sebagai gambaran, dari
rumah saya di kawasan Kiaracondong untuk sampai ke alun-alun paling hanya
membutuhkan waktu sekitar 15 menit.
Saya menulis ini bukan sekedar
untuk bernostalgia, tapi juga untuk mengingatkan betapa indahnya Bandung jaman
baheula. Meskipun tidak bisa mengembalikan seperti dulu, tapi setidaknya jika
kita merawat, keindahan akan tetap terjaga. Jika kita melihat di film-film
Hollywood, masih sering terlihat dalam satu adegan ada gedung bioskop yang
masih terlihat klasik seperti halnya bioskop-bioskop di kota Bandung pada jaman
dulu. Sayangnya kebijakan Pemkot Bandung saat ini, gedung bioskop dilarang
berdiri sendiri, tapi harus menyatu dengan Mall.
Di era modern seperti sekarang
ini, kemajuan teknologi di berbagai bidang sudah tidak dapat terbendung lagi.
Tapi bukan berarti harus melakukan pembangunan secara frontal dan membabi buta,
apalagi melenyapkan sesuatu yang bernilai tinggi, yang bernilai sejarah dan
merusak keindahan. Apalagi jika tidak membuat nyaman warganya.
0 comments: