1701

BANDUNG CYBER CITY
Pada tahun 1701, tepatnya bulan ke enam, hari senin pukul 14.30................., sayangnya saat itu saya belum lahir, ........... jadi saya tidak bisa menulis atau menceritakan apapun yang terjadi saat itu. Saya tidak dapat menceritakan apapun karena tidak ada ide, .....buntu. Tapi saya harus menulis artikel ini, karena kalau saya telat mengirim artikel ini..., pemimpin redaksi yang biasa saya panggil kang Angga suka baeud.
 Jika saya datang ke kantor, sementara saya belum mengirim artikel, kang Angga tidak pernah menyapa saya, saya di cuekkin, jangankan menyapa..., menawarkan rokokpun tidak. Begitupun dengan kang Riki bagian posting, selalu mendelik ke arah saya dengan sinis, dengan sudut matanya menatap saya dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu berhenti di tengah..., karena saya lupa menutup restleting celana. Menawarkan kopipun tidak, padahal meja tempat kopi dan dispenser tepat di sebelah meja kang Riki. Suasana jadi hening, ...kaku, ...tidak ada yang bicara.
Jika sudah begitu saya lalu keluar, membeli gorengan, cukup enam ribu rupiah saja. Lalu kembali ke kantor dan meletakan gorengan di atas meja.
“Ehh... mang Iwan meni ngarepotkeun.” Sahut kang Angga sambil bangkit dari kursi. Lalu mengambil gorengan dua biji sekaligus, gehu di tangan kanan, bala-bala di tangan kiri.
“Sok mang... hensok...” Tawar kang Angga padaku dengan mulut penuh dengan gehu. Dalam bahasa Sunda yang seperti ini disebut “samutut”.
Kang Riki bangkit dari kursi, mengambil gelas, lalu menuangkan kopi sachet kedalamnya.
“Mang Iwan mah... apal meser gorengan padahal ditambahan ku abdi.” Kata kang Riki sambil menunjuk uang sepuluh ribu rupiah di atas meja.
Padahal hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, saya jadi berpikir kalau kang Riki berbasa-basi, atau saya lagi mengalami Deja Vu.
“Ngopi heula mang...” Lanjut kang Riki sambil menyodorkan gelas kopi yang ternyata untukku.
Suasana seketika menjadi cair, penuh keakraban dan kekeluargaan. Wajah kang Angga dan kang Riki yang asalnya baeud padaku berubah jadi bersahabat dan ceria... seceria Chica Koeswoyo saat menyanyikan lagu Helly kuk kuk kuk...
Kuhisap rokok dalam-dalam sambil duduk di kursi dekat kaca, sementara kang Angga dan kang Riki sibuk memilih-milih gorengan yang tersisa... comro atau pisang? Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka berdua. Kusandarkan kepala ke sandaran kursi, sambil tetap menghisap roko dalam-dalam, aku menerawang..., jadi teringat sesuatu.
Suatu saat ketika pulang dari Sukabumi, di daerah Rajamandala aku melihat deretan pedagang es dawet. Kutepikan Rubiconku (itupun kalau anda percaya saya punya Rubicon), saya turun untuk sekedar istirahat dan membeli es dawet yang penjualnya dua orang wanita berusia kira-kira lima puluh tahunan.
Cuaca sejuk khas Parahyangan disertai angin semilir menambah nikmatnya es dawet yang kuminum, tanpa sengaja aku mendengarkan percakapan kedua ibu penjual es dawet ini.
“Ceu Entat ningali teu kamari infotaiment?” Tanya si ibu berkaos hitam yang bertuliskan OverKill.
“Henteu..., na aya gosip naon kitu ceu Dedah?” Si ibu yang dipanggil ceu Entat balik bertanya.
“Eta Syahrini tas Hermes na meni alus pisan..., kabita euceu mah.” Kata ceu Dedah.
“Ah... moal kabeuli atuh ku rakyat leutik jiga urang mah.” Sahut ceu Entat.
Aku tersenyum demi mendengar ceu Dedah yang menginginkan tas Hermes seperti kepunyaan Syahrini.
“Ceu... ngobrolna bari ngopi dawet atuh meh rame... keun abdi nu mayar.” Aku ikut bergabung dengan obrolan mereka berdua.
“Atuh jeruk makan jeruk  A...” Kata ceu Entat.
Kami bertiga tertawa. Ceu Entat lalu membuat dua gelas es dawet, satu untuk ceu Dedah dan satu lagi untuk dirinya.
“Si AA meni bageur jeung nraktir sagala.” Kata ceu Dedah.
“Enya... keur kasep teh.” Ceu Entat menimpali.
“Di doakeun ku euceu sing jadi Presiden A..., bageur ka rakyat leutik si AA mah.” Kata ceu Dedah serius sambil mengelap mulut dengan ujung bajunya.
“Ah... si euceu mah aya-aya wae...” Kataku.
“Nyaan A..., kakaraeun nu dagang di traktir ku nu meser. Bageur si AA mah, sugan weh mun jadi Presiden euceu di beulikeun tas Hermes.” Tambah ceu Dedah penuh harap.
Ceu Entat mengangguk mengamini.
Singkat cerita saya kembali melanjutkan perjalanan, dengan ditemani lagu Toxcity dari System of a Down, saya teringat percakapan dengan ceu Dedah dan ceu Entat. Saya tak habis pikir..., hanya dengan mentraktir es dawet, lalu saya akan dijadikan Presiden oleh mereka.  Harapan rakyat kecil yang ingin di perhatikan pemimpinnya, pemimpin yang baik dan sayang pada rakyatnya, yang mengerti akan keinginan rakyatnya, meskipun itu sebuah tas bermerk Hermes.
Saya jadi teringat dengan iklan para calon pemimpin di televisi, mereka rela masuk ke pasar-pasar yang kotor, menggendong anak kecil, merangkul nenek-nenek dan tukang beca, memasang wajah penuh kepedulian. Mungkin bagi kita yang hidup di kota, rayuan-rayuan seperti itu sudah tidak mempan, tapi bagi rakyat kecil hal itu sangat mengena, .....membekas. Itu sebuah jurus yang jitu... bahkan mentraktir es dawetpun akan dijadikan Presiden. Mungkin seperti kang Angga dan kang Riki yang luluh dengan sebungkus gorengan. (Heureuy Bandung / mangnawi)

0 comments:

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

Berita Lainnya :

 
Copyright 2013 - Nandira Semesta Bandung
Designed by Republik Design